Legenda Para Raja di Raja Ampat
07/08/2020
Pada suatu masa, tinggalah sepasang suami-istri yang bernama Alyab Gaman dan Bukudeni Kapatlot di
suatu tempat yang disebut Waigi sambil berkebun. Disekitar lahan yang mereka bersihkan ini, mereka
menemukan tumpukan telur yang kurang lebih jumlahnya tujuh butir. Oleh karena lokasi kebun mereka
berdua tinggal jauh dari pantai dan tidak ada lauk, sehingga suami dari Bukudeni Kapatlot, Alyab Gaman
menawarkan istrinya agar beberapa telur tersebut dimakan. Namun, Bukudeni Kapatlot menolak
tawaran suaminya itu dan mengusulkan agar tujuh telur tersebut dipelihara.
Bukudeni Kapatlop merasa telur ini bukan telur sembarangan, karena setelah sekian lama tinggal disana, dirinya belum menemukan unggas atau hewan lainnya yang mampu bertelur dan hidup disekitar tempat tinggal dan kebunnya itu. Suaminya pun setuju atas usul tersebut. Seiring berjalannya waktu, satu demi satu telur itu menetas dan yang keluar dari cangkang tersebut adalah manusia. Dari tujuh buah telur tersebut, sementara yang menetas hanya enam buah, dan satu diantaranya belum menetas hingga saat ini. Telur Raja ini kemudian disakralkan oleh seluruh masyarakat Raja Ampat dan terdapat ritual khusus setiap 5 tahun sekali yang mengundang tokoh adat diseluruh Raja Ampat untuk telur Raja ini.
Dari enam telur yang menetas, satu diantaranya adalah perempuan dan sisanya adalah laki-laki. Ketika
itu, enam Raja ini memutuskan untuk berpindah dan membangun satu perkampungan di suatu tempat
yang diberi nama Tip Nukari yang dalam bahasa Maya adalah gabungan dua kata dari kata ‘Tip’ yang
berarti Teluk, dan ‘Nukari’ yang berarti pohon kelapa. Teluk dengan rimbunan pohon kelapa tersebut
dapat ditemui hingga sekarang karena terletak masih didalam wilayah Kali Raja di kampung wisata
Wawiyai.
Kehidupan Raja-raja di perkampungan Tip Nukari ini utamanya adalah memelihara penyu dengan
masing-masing hanya diperbolehkan satu atau dua ekor saja untuk dipelihara. Hari demi hari, kesibukan
mereka hanya merawat dan memberi makan penyu-penyu tersebut di satu lokasi yang sama. Enam
Raja-raja ini hidup berdampingan dan saling mengasihi, hingga pada suatu hari, satu-satunya saudara
perempuan mereka yang bernama Pintaki hamil dan tidak diketahui siapa atau apa penyebabnya.
Apalagi hanya ada mereka berenam di perkampungan itu, sehingga mereka merasa malu atas kejadian
yang menimpa Pintaki, ditambah lagi, mereka ini adalah saudara kandung, sehingga mereka mengambil
keputusan untuk menghanyutkan Pintaki ke laut untuk menghilangkan rasa malu itu dengan
menggunakan piring berukuran besar. Dalam usaha menghanyutkan Pintaki ini, beberapa kali gagal dan
Pintaki terdorong kembali ke kampung tersebut. Dan pada usaha yang ketiga, Pintaki berhasil hanyut
dan piring besar yang digunakannya itu terdampar di Biak yang saat itu disebut Nu Apasiw yang artinya
dalam bahasa Maya adalah ‘Kampung Yang Kesembilan’.
Sementara itu di Tip Nukari, Raja-raja yang tetap tinggal dan menjaga penyu peliharaan mereka, mulai
terjadi kesalahpahaman diantara mereka. Hal ini disebabkan oleh salah satu penyu peliharaan mereka
mengalami luka-luka yang kemudian berujung pada saling menuduh diantara mereka dan akhirnya
berpisah.
Berikut ini nama-nama Raja-raja diurutkan berdasarkan silsilah keturunan, yaitu pertama adalah Raja
Kalan Agi War atau selanjutnya disebut Raja Waigeo dan bertempat tinggal di Mumes dengan wilayah
kekuasaan mulai dari kampung Mumes, seluruh Teluk Mayalibit kemudian mencapai ke kampung Salio
dan sekitarnya. Raja Kedua adalah Raja Betani, dirinya keluar dari Tip Nukari dan bertempat di pulau
Salawati dan wilayah kekuasaannya mulai dari Salawati keseluruhan, pulau Batanta seluruhnya dan
sebagian selatan pulau Waigeo yakni kampung Wawiyai dan Selpele. Raja Ketiga adalah Raja Johar, yang
memilih keluar dan bertempat tinggal di pulau Misool dan wilayah kekuasaannya adalah seluruh Misool.
Raja keempat adalah Raja Fun Sem, namun dirinya tidak menetap pada suatu tempat tertentu, ia
memilih berpindah-pindah tempat. Raja kelima, Raja Kelimutu bertempat tinggal di pulau Seram.
Kemudian Raja Keenam adalah Raja perempuan, Pintaki yang telah dihanyutkan dan terdampar di pulau
Biak dan menetap disana. Kemudian Raja yang ketujuh dan belum menetas adalah Raja Kapatna.
Masyarakat kampung Wawiyai menjaga dan merawatnya hingga sekarang.
Raja Perempuan yang Dihanyutkan
Setelah tiba di Biak, barulah Pintaki melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama
Kurabesi. Beranjak dewasa, Kurabesi merasa dirinya berbeda dengan penduduk di pulau Biak, sehingga
ia pun bertanya kepada ibunya tentang dimana keluarganya yang lain berada. Menjawab pertanyaan
putranya, Pintaki hanya berkata bahwa keluarga mereka yang adalah paman-pamannya berada di pulau
Waigeo. Tanpa banyak pikir, Kurabesi kemudian pamit kepada ibunya dan segera berangkat menuju
pulau Waigeo untuk bertemu secara langsung dengan keluarga dari ibunya ini.
Ketika itu, Kurabesi hanya meminta petunjuk dari ibunya mengenai lokasi tepatnya pulau Waigeo.
Pintaki lalu menjelaskan bahwa pulau Waigeo berada dibagian Selatan, tepatnya di Teluk Kabui. Lebih
lanjut, Pintaki menyuruh agar Kurabesi mengarahkan lurus haluan kapal setelah memasuki Teluk Kabui itu hingga menemukan muara sungai tempat paman-pamannya tinggal dan menetap. Setelah
mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya, Kurabesi berlayar menuju pulau Waigeo. Setelah
mengikuti seluruh petunjuk ibunya itu, dirinya berhasil tiba di pulau Waigeo dan bertemu pamanpamannya
serta sanak keluarga lainnya disana.
Seiring berjalannya waktu, Kurabesi pun tidak berlama-lama bersama para pamannya itu. Kurabesi pun
melanjutkan perjalanannya menuju Ternate. Setelah tiba disana, ternyata sedang terjadi perang antara
Sultan Banao dan Sultan tidore. Saat itu Kurabesi persis berada dipantai kampung wilayah Sultan Banao,
tempat dimana diperkirakan akan terjadi perang, atau sekitar jam 8 pagi hari itu, dan dengan cepat
Sultan Banao menyuruh kepada pengawalnya untuk menjelaskan kepada Kurabesi. Namun Kurabesi
menolak dan bersikukuh untuk tetap tinggal dan menanti terjadinya perang, bahkan ia menunggu
dengan tidak sabar. Mendengar perkataan Kurabesi yang disampaikan kembali oleh pengawalnya yang
telah kembali, Sultan Banao pun terkesan dengan keberanian Kurabesi dan mengajak serta meminta
Kurabesi untuk membantunya dalam perang nanti.
Seakan sesuai dengan waktu yang telah disepakati bersama, perang pun terjadi. Kurabesi tidak sempat
turun dalam medan perang karena ia ingin menunjukan jiwa kesatria-nya dan ilmu kebal yang dimiliki
dengan duduk didepan moncong meriam yang langsung ditembakan menuju para musuh Sultan Banao.
Sehingga kedua keduanya memenangkan perang tersebut.
Sebagai ungkapan terima kasih, Sultan Banao menawarkan harta benda yang berlimpah kepada
Kurabesi, namun untuk kedua kalinya Kurabesi menolak tawaran tersebut. Ia kemudian memilih untuk
menikahi cucu perempuan Sultan Banao yang bernama Bukudeni.